Para pemilik warung di Pantai Tanjung Aan, Desa Sengkol, Kecamatan Pujut, Lombok Tengah, kini berada dalam ketegangan seiring berakhirnya tenggat waktu pengosongan yang ditetapkan oleh PT Injourney Tourism Development Corporation (ITDC). Ratusan warga bersiap menghadapi kemungkinan penggusuran karena dianggap menempati lahan Hak Pengelolaan (HPL) milik negara yang dikelola oleh ITDC.
Salah satu pemilik warung, Adi Wijaya, mengekspresikan keberatannya untuk meninggalkan kawasan tersebut. Ia telah tinggal dan mengandalkan hidup di Pantai Tanjung Aan sejak tahun 1980-an. “Jangan gusur kami dulu, karena di sini adalah tempat masyarakat mencari nafkah. Bukan hanya warga Tanjung Aan yang berjualan di sini, tetapi juga dari desa-desa lain,” ungkap Adi saat berbincang di pantai.
Adi menyebutkan bahwa terdapat sekitar 180 warung yang beroperasi di sepanjang pantai, dengan lebih dari 500 orang bergantung pada penghidupan di kawasan ini, termasuk pemandu wisata, pedagang asongan, tukang parkir, dan karyawan warung. “Total warung di sini ada 180, tetapi yang bekerja di sini termasuk para surfer dan penjual asongan,” tambahnya.
Adi mengaku bingung harus mengadu ke mana. Bersama pemilik warung lainnya, ia bertekad untuk tetap bertahan meskipun terancam penggusuran. “Jika kami harus digusur, kami akan tetap bertahan. Apa pun caranya, kami akan tetap tinggal di sini dan kompak,” tegasnya.
Selain itu, Adi membantah adanya pemilik warung yang telah membongkar lapaknya secara sukarela. “Hingga saat ini, tidak ada warung yang sudah tutup atau dibongkar,” jelasnya.
Pemilik warung lainnya, Papuk Suming, mempertanyakan alasan ITDC untuk melakukan penggusuran. Ia menegaskan bahwa lapak-lapak tersebut berdiri di atas sempadan pantai yang seharusnya tidak dibangun kecuali untuk kepentingan masyarakat. “Ini kan di sempadan pantai, dan tiba-tiba kami mendengar pernyataan dari Pak Sekda Lombok Tengah yang menyebut sudah masuk HPL. Dulu mereka mengatakan tidak akan memasukkan sempadan pantai ke HPL,” ujarnya.
Suming, yang berusia 65 tahun, melihat upaya penggusuran ini sebagai bentuk otoriter pemerintah terhadap masyarakat. “Kami adalah masyarakat yang memilih pemerintah ini, tetapi mengapa kami yang harus menderita?” tegasnya. Ia pun bertekad untuk mempertahankan warungnya meskipun harus menghadapi penggusuran. “Saya akan tetap bertahan. Saya tidak mau digusur,” ujarnya.
Sebelumnya, ITDC memastikan akan tetap menertibkan lapak jualan dan warung-warung di Pantai Tanjung Aan meskipun mendapat penolakan dari warga. ITDC mengklaim bahwa sosialisasi dan pemberitahuan pengosongan telah dilakukan sejak 2023. “Kami akan tetap melakukan pengosongan dan penataan sesuai masterplan pengembangan kawasan,” kata General Manager (GM) The Mandalika, Wahyu Moerhadi Nugroho.
Wahyu menjelaskan bahwa pemanfaatan lahan dilakukan melalui skema kerja sama legal seperti LUDA (Land Utilization Development Agreement) dan sewa jangka panjang, di atas lahan berstatus Hak Pengelolaan (HPL) milik negara. Ia menegaskan bahwa pemanfaatan lahan oleh investor bukan bentuk privatisasi, dan publik tetap dapat mengakses pantai. Ia memberikan contoh pengelolaan The Nusa Dua, Bali, di mana masyarakat tetap bebas mengakses pantai meskipun berada di dalam kawasan hotel internasional.
ITDC memberikan tenggat waktu kepada warga untuk melakukan pengosongan secara mandiri hingga tanggal 28 Juni 2025. Setelah itu, mereka akan melakukan penggusuran secara paksa. ITDC, sebagai pengelola Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Mandalika, berencana membangun hotel bintang lima dan beach club di Pantai Tanjung Aan, yang juga merupakan bagian dari lahan yang dikelola. Saat ini, PT ITDC telah menjalin komitmen dengan dua investor untuk mengembangkan kawasan Pantai Tanjung Aan, termasuk PT Kleo Mandalika Resor yang akan membangun hotel bintang lima dengan total investasi yang direncanakan mencapai Rp 2 triliun.