Enhancing Dispute Resolution Alternatives in the Revised Copyright Law

Enhancing Dispute Resolution Alternatives in the Revised Copyright Law

Homo Homini Lupus—manusia saja bisa menjadi serigala bagi sesamanya, sebuah pernyataan yang diungkapkan Thomas Hobbes dalam karya terkenalnya, De Cive (1651), dan tetap relevan dengan kondisi saat ini. Pihak pencipta dan pemegang hak cipta seringkali menghadapi ketidakpastian dan ketidakadilan dalam penetapan besaran pembayaran kepada pihak yang dianggap merugikan mereka. Meskipun Undang-Undang Hak Cipta secara tegas menyatakan hak ekonomi yang adil, implementasinya masih sering menghadirkan ketidakpastian akibat kebijakan dan keputusan yang berbeda-beda.

Selain itu, ketidakpuasan pencipta sering berujung pada proses pidana karena UU HC memfasilitasi klaim tersebut melalui delik aduan, memberi peluang bagi pihak tertentu untuk menyalahgunakan sistem. Hak Cipta memberikan hak eksklusif kepada pencipta atau pemegang hak cipta untuk memperoleh hak ekonomi dari pengguna karya mereka. Berdasarkan Pasal 87 UU Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta, untuk memastikan hak ekonomi yang wajar, dibentuklah Lembaga Manajemen Kolektif (LMK). Peraturan Menteri Keuangan Nomor 136/PMK.02/2021 juga mengatur pedoman pemberian imbalan terkait royalti hak cipta, sehingga dasar hukum untuk penghargaan yang layak kepada pencipta sudah tersedia.

Namun, muncul pertanyaan: bagaimana jika ada pencipta atau pemegang hak yang mengklaim sepihak atas pungutan online mereka, merasa bahwa hak tersebut sepenuhnya milik pribadi mereka? Dalam konteks ini, situs resmi Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual menegaskan bahwa tujuan utama UU HC adalah memberikan manfaat ekonomi, insentif untuk kreativitas dan inovasi, serta mendukung pertumbuhan industri kreatif nasional. Sayangnya, dalam praktiknya, ketakutan akan terjerat pidana menyebabkan banyak pelaku industri, seperti pemilik restoran dan kafe, memilih untuk tidak menampilkan lagu-lagu dari musisi Indonesia sama sekali.

Bahkan, saat menikmati suasana santai, banyak orang lebih suka mendengarkan suara alami seperti gemericik air atau kicauan burung alih-alih lagu, yang berpengaruh pada kurangnya popularitas karya musik dan perlambatan industri musik nasional. Dalam sidang Uji Materiil UU HC di Mahkamah Konstitusi, Hakim Arief Hidayat dan ahli hukum pidana dari Universitas Gadjah Mada mengingatkan bahwa penggunaan ancaman pidana sebagai langkah utama dalam penegakan hak cipta berisiko mengancam keberlangsungan ekosistem musik di Indonesia. Ketakutan akan hukuman penjara membuat banyak penyanyi berbakat enggan berpartisipasi dalam memopulerkan karya dan justru menghambat penyebaran karya itu sendiri.

Kendala lainnya adalah kurangnya pengaturan alternatif penyelesaian sengketa (APS). UU HC menyebutkan mediasi sebagai jalur yang harus ditempuh sebelum menempuh proses pidana, tetapi pengaturannya sangat minim, hanya tercantum dalam Pasal 95 ayat (1), tanpa penjelasan lebih detail. Padahal, UU Nomor 30 Tahun 1999 memayungi arbitrase dan jenis alternatif penyelesaian lain seperti konsultasi, negosiasi, dan penilaian ahli—semuanya penting untuk menyelesaikan sengketa secara adil dan efisien. Perma Nomor 1 Tahun 2016 justru mengecualikan kasus hak cipta dari proses mediasi yang berlangsung di Pengadilan Niaga, menegaskan bahwa penyelesaian melalui proses resmi tidak selalu harus melalui pengadilan pidana.

Selain itu, Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 1 Tahun 2023 pun masih belum serius menerapkan prinsip ultimum remedium—yaitu menggunakan pidana sebagai jalan terakhir—karena menyatakan bahwa proses mediasi tidak menghentikan proses hukum pidana. Padahal, tidak diterapkannya mekanisme penyelesaian yang memadai bisa mengurangi insentif industri kreatif dan mengurangi pendapatan negara dari pajak dan retribusi.

Hukum Hak Cipta merupakan bagian integral dari Hukum Bisnis yang menitikberatkan pada solusi win-win untuk semua pihak. Alternatif penyelesaian sengketa harus dioptimalkan, khususnya dengan revisi UU HC yang mendukung pengaturan terkait langkah-langkah dan sanksi administratif—kecuali untuk kejahatan seperti pembajakan yang memang memerlukan tindakan pidana. Sementara itu, Mahkamah Konstitusi diharapkan dapat memberikan putusan judicial review yang menegakkan keadilan sekaligus menciptakan kepastian dan manfaat hukum.

Karena UU HC adalah regulasi khusus di luar KUHP, penegakannya harus bersifat komprehensif dan tidak setengah-setengah. Hukum ini harus mampu menghadirkan manfaat nyata bagi masyarakat, sebagaimana prinsip utilitarianisme dari Jeremy Bentham, yang menekankan bahwa hukum seharusnya membawa kebahagiaan sebanyak-banyaknya. Pemerintah dan pembuat kebijakan perlu terus melakukan evaluasi dan penyesuaian agar aturan ini benar-benar melindungi karya cipta dan mendukung industri kreatif Indonesia secara berkelanjutan.

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *