KPK tengah menyelidiki dugaan korupsi terkait pembagian kuota haji 2024 yang memicu polemik di Indonesia. Tahun tersebut menjadi pusat perdebatan karena adanya pembagian kuota tambahan yang memanas antara jemaah haji reguler dan haji khusus.
Awal mula isu ini muncul setelah pemerintah Arab Saudi mengeluarkan tambahan 20.000 kuota haji, yang kemudian didapat melalui kunjungan Presiden Joko Widodo ke Arab Saudi pada Oktober 2023. Dengan penambahan ini, kuota Indonesia yang sebelumnya 221.000 meningkat menjadi 241.000. Keputusan ini kemudian disepakati dalam rapat antara DPR dan pemerintah di Jakarta pada akhir November 2023, untuk dialokasikan secara proporsional antara jemaah reguler dan haji khusus.
Rinciannya, sekitar 221.720 kuota dialokasikan untuk jemaah reguler dan 19.280 untuk haji khusus. Namun, kemudian distribusi ini dibagi rata, masing-masing 10.000 untuk kedua kategori, berdasarkan aturan yang diatur dalam undang-undang. Indonesia mendapatkan persetujuan dari kementerian haji dan umrah Arab Saudi pada Januari 2024, yang menandatangani MoU resmi dengan pemerintah Indonesia untuk alokasi kuota ini.
Tapi, muncul ketidaksesuaian terkait pengalihan sebagian besar kuota tambahan untuk haji khusus, yang memperlihatkan adanya ketidakkonsistenan dengan aturan awal. DPR menilai alokasi tersebut melanggar ketentuan dan lebih dari separuh kuota dialihkan ke haji plus atau furoda—yang memicu keprihatinan tentang transparansi dan kemungkinan adanya keuntungan pribadi atau pihak tertentu di balik pengaturan ini.
Dampaknya, DPR membentuk panitia khusus untuk menyelidiki lebih dalam, terutama terkait ketidaksesuaian aturan dan potensi praktik korupsi. Salah satu anggota DPR bahkan menyebut, alokasi yang tidak sesuai dengan keputusan dan aturan bisa menguntungkan segelintir pihak tertentu, termasuk travel haji dan pihak di dalam pemerintahan.
Dalam keruwetan ini, Kementerian Agama melakukan penyesuaian terhadap distribusi kuota, merujuk pada kebijakan zona di Mina dan pertimbangan teknis lainnya, seperti biaya dan kepadatan. Mereka menegaskan tidak ada praktik jual beli kuota dan mengklaim proses distribusi didasari kajian teknis yang matang—walaupun semua berjalan di tengah kekurangan transparansi dan komunikasi yang memadai dengan DPR.
Kini, kasus ini menarik perhatian KPK. Mereka menelisik dugaan korupsi dalam pengelolaan kuota tersebut, terutama terkait pengalihan kuota untuk haji plus yang diduga tidak sesuai prosedur. Penyidikan ini meliputi juga pemeriksaan terhadap Menteri Agama saat itu, Yaqut Cholil Qoumas, serta beberapa pihak lainnya. Ketika publik menunggu kelanjutan kasus ini, ketegangan seputar transparansi dan integritas pengelolaan kuota haji menunjukkan betapa kompleksnya tata kelola dan kewenangan dalam urusan ibadah massal ini.