Okupansi hotel di Samarinda mengalami penurunan drastis akibat penghematan anggaran pemerintah. Yuli Armunanto, Wakil Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Samarinda, mengungkapkan bahwa penurunan ini bisa mencapai 70 persen. Selama ini, banyak hotel bergantung pada kegiatan pemerintah yang rutin menggunakan fasilitas mereka untuk rapat, seminar, dan acara lainnya.
“Pendapatan hotel anjlok sekitar 70 persen. Biasanya, 50 hingga 70 persen pendapatan kami berasal dari kegiatan pemerintah. Ketika kegiatan tersebut terhenti, kami hanya bisa mengandalkan 30 persen dari sektor swasta,” jelas Armunanto saat diwawancarai pada Senin, 7 Juli 2025.
Persaingan untuk merebut pasar swasta kini semakin ketat. Hotel-hotel besar yang sudah menjalin kerja sama korporat jelas lebih diuntungkan, sementara hotel lokal terpaksa berjuang dengan sisa peluang yang ada. “Dengar-dengar, pengelola hotel lokal mulai resah,” tambahnya.
Kondisi ini menimbulkan ancaman serius bagi kelangsungan usaha dan tenaga kerja di sektor perhotelan. Jika tidak ada tindakan penyelamatan, gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) mungkin tak terhindarkan. Armunanto berharap PHK dapat dihindari dengan adanya relaksasi pembayaran pajak dari pemerintah.
“Daripada kami harus mem-PHK karyawan, kami sangat berharap ada relaksasi seperti saat pandemi. Dana tersebut bisa digunakan untuk mempertahankan tenaga kerja,” terang Armunanto.
Dia juga mendorong pemerintah daerah untuk kembali mengadakan berbagai acara yang dapat menghidupkan industri pariwisata lokal. Kegiatan berskala besar, seperti sport tourism dan MICE (Meeting, Incentive, Convention, Exhibition), bisa menjadi magnet bagi pengunjung dari luar kota. “Saat MTQ kemarin, semua hotel penuh. Bahkan rumah warga pun ramai dijadikan tempat inap. Ini menunjukkan bahwa potensi pariwisata kita sangat besar, dan tinggal bagaimana pemerintah dan swasta dapat berkolaborasi.”
Armunanto tak lupa mengajak perusahaan-perusahaan besar, seperti sektor tambang dan migas di Kalimantan Timur, untuk berkontribusi melalui dana CSR mereka. Dia percaya, dana tersebut bisa digunakan untuk mendukung acara pariwisata yang berdampak positif pada pemulihan ekonomi dan peningkatan pendapatan asli daerah.
“Pariwisata menjadi salah satu penyumbang terbesar PAD. Jika dibiarkan stagnan, daerah pun akan merugi. Maka, kesadaran bersama, terutama dari sektor swasta, sangat dibutuhkan untuk mendorong kegiatan yang dapat menghidupkan perhotelan dan UMKM,” pungkasnya. PHRI Samarinda menegaskan bahwa situasi industri perhotelan saat ini mirip dengan kondisi selama pandemi dua tahun lalu, dan harapan mereka sederhana: “Bantu kami bertahan. Karena sektor ini sangat rentan terhadap kondisi politik dan ekonomi.”