Menelusuri Jejak Tradisi: Kisah Ati Bachtiar
Ati Bachtiar, seorang fotografer dan pelukis kaca dari Bandung, mengabdikan hidupnya untuk mendokumentasikan tradisi telinga panjang suku Dayak di Kalimantan. Budaya yang kaya ini kini berada di ambang kepunahan. Perjalanan spiritual Ati dimulai dengan sebuah momen tak terduga pada tahun 2013 di Desa Sungai Bawang, Kutai Kartanegara, saat ia terpesona oleh patung wanita bertelinga panjang yang seolah menangis darah. “Bayangan patung itu tak pernah hilang dari pikiran saya, seolah si nenek ingin berbicara, menginginkan pertolongan,” ungkapnya.
Menelusuri lebih jauh, Ati mencari referensi tentang telinga panjang Suku Dayak—dari asal-usul hingga maknanya. Di tahun 2014, dia bertemu Uweq Priyaq, seorang nenek bertelinga panjang di Desa Budaya Pampang, Samarinda. Meskipun terpesona, Ati hanya dapat mengambil satu foto curi-curi dengan ponselnya, karena biaya foto yang menjulang tinggi, Rp 50 ribu per jepret. Sayangnya, foto tersebut lenyap bersama ponselnya di Bandara Sepinggan, Balikpapan.
Tahun 2015 menjadi titik berat dalam hidup Ati ketika ia divonis kanker serviks, memaksanya untuk menjalani operasi dan bedrest. Meski begitu, semangatnya untuk melestarikan budaya telinga panjang Dayak tak surut. Dengan dukungan komunitas fotografer di Kalimantan, ia merencanakan ekspedisi mendokumentasikan tradisi ini.
Pada Mei 2026, Ati memulai petualangannya dari Samarinda, menyusuri Sungai Mahakam hingga perbatasan Malaysia. Dari perjalanan ini, ia melahirkan buku pertamanya yang memprofilkan 43 perempuan bertelinga panjang, di antaranya 11 yang telah memotong telinga mereka.
Ati bekerja sama dengan penerjemah lokal yang fasih berbicara dalam bahasa Dayak dan Indonesia, mendekati tradisi dengan rasa hormat yang dalam. Dia diangkat sebagai anak oleh tiga ibu Dayak, salah satunya Yeq Lawing, sosok penting dalam bukunya yang keempat. Yeq, nenek dari Long Isun yang hanya menyelesaikan pendidikan di Sekolah Rakyat, dikenal gigih mempertahankan tradisi leluhurnya. “Dia tak pernah melepaskan antingnya, meskipun godaan modernisasi terus mendekat,” jelas Ati.
Yeq juga menguasai bahasa Indonesia, rutin menulis catatan harian, dan berani berbicara di forum internasional, seperti ketika memukau audiens di Belanda pada misi kebudayaan “Dayak Long Ears Through The Lens” di tahun 2024. “Bagi saya, budaya Dayak adalah warisan dunia. Sejarah peradaban manusia dan kerajaan tertua Indonesia ada di Kalimantan,” kata Ati.
Namun, tradisi yang pernah menjadi simbol keindahan dan status sosial bagi suku Dayak—terutama sub-suku Bahau, Kayan, dan Kenyah—mulai ditinggalkan sejak 1970-an, terutama di era Orde Baru. “Pemotongan telinga dilakukan masif oleh generasi muda yang ingin bertransisi ke kehidupan kota atau melanjutkan pendidikan,” jelasnya.
Rasa malu terhadap tradisi yang dianggap kuno dan diskriminasi serta larangan bersekolah atau mendapatkan pekerjaan layak menjadi alasan utama. Dari 78 perempuan bertelinga panjang yang didokumentasikan Ati, tak satu pun dari keturunannya melanjutkan tradisi ini. “Mereka merasa tradisi ini sudah ketinggalan zaman, tampak aneh di mata masyarakat modern,” tuturnya.