Gang Gumelar: Jantung Ekonomi dan Budaya di Sukabumi
Gang Gumelar bukan sekadar jalur biasa. Menghubungkan Jalan Empang Raya dan Jalan Pasar Palabuhanratu di Kabupaten Sukabumi, gang ini telah bertransformasi menjadi pusat industri rumahan yang beroperasi tanpa henti. Di sepanjang gang, terdapat tiga industri bakso dan satu industri mie ayam yang berdenyut sejak fajar menyingsing.
Di balik pagar besi dan tembok rumah-rumah warga, dapur-dapur besar beroperasi dengan ritme yang teratur. Adonan bakso dicetak, uap mengepul, dan ember-ember besar bersusun di lantai semen yang licin. Para pekerja tahu betul ritmenya, menciptakan suasana yang hidup dan dinamis.
Menariknya, gang ini juga dihuni oleh rumah-rumah yang terlihat megah untuk ukuran perkampungan dekat pasar. Pilar tinggi, gerbang besi, dan dinding keramik mengapit sisi kiri dan kanan gang, berdampingan dengan lorong-lorong kecil yang mengarah ke dapur produksi.
Banyak warga yang berhasil membangun rumah megah berkat usaha bakso atau mie ayam yang telah mereka jalani selama puluhan tahun. Kehadiran industri rumahan di tengah hunian menciptakan lanskap sosial yang unik: di satu sisi, ini adalah pemukiman, tetapi di sisi lain, ia berfungsi sebagai jalur distribusi makanan yang menopang ekonomi warga, dari dapur ke gerobak, dari gang ke kota-kota.
Gang ini membentang lurus sepanjang kurang lebih 500 meter, cukup lebar untuk satu mobil melintas. Namun, lebih dari sekadar jalan penghubung, ia menyimpan kehidupan yang berdenyut, dipenuhi aroma kaldu, uap panas, dan bunyi denting baskom.
Di salah satu dapur produksi bakso, suasana tampak sibuk sejak pagi. Di balik tembok bercat hijau tua, ruangan beratap seng dipenuhi asap kayu bakar yang menggantung di udara. Sejumlah pekerja duduk berjajar di lantai, mengenakan sarung dan kaus oblong, dengan cekatan membentuk bulatan demi bulatan bakso, yang mereka sebut ‘nyelocot’.
Di sisi kanan ruangan, tungku menyala merah dengan kayu bakar yang terus disuplai. Uap dari panci-panci besar mengepul pekat, menyebarkan aroma ikan yang sedang dimasak. “Kami masih menggunakan kayu bakar untuk perebusan, itu amanat dari almarhum bapak. Rasa bakso itu beda, lebih sedap, ada aroma khas yang tidak bisa diganti gas,” ungkap Mas Wanto (51), menantu almarhum Gianto, pendiri Bakso Sabar, salah satu pabrik rumahan tertua di kawasan ini.
Usaha Bakso Sabar dimulai pada 1971, dirintis oleh Gianto yang merantau dari Desa Pundung Rejo, Kecamatan Tawang Sari, Sukoharjo, Jawa Tengah. “Awalnya beliau dagang keliling pakai pikulan. Menggiling adonan pun masih dipukul pakai bambu,” cerita Wanto.
Peralihan ke ikan terjadi bukan karena tren, tetapi karena membaca potensi lokal. “Waktu itu di sini ikannya melimpah, sementara bakso daging belum banyak diminati. Dari situ mulai dicoba campur, lalu total pakai ikan,” lanjutnya.
Nama ‘Sabar’ bukan sekadar label, tetapi cerminan perjuangan. “Bapak itu orangnya sabar banget. Hidup dan usaha itu harus sabar, baru bisa berhasil. Makanya diberi nama Bakso Sabar,” ujar Wanto.
Gianto kini dikenang sebagai pionir bakso ikan di Palabuhanratu. Dari resep sederhana dan ketekunan, ia membuka jalan bagi perantau lain yang mengikuti jejaknya di gang yang sama. Ketua RW 22, Reza, menyebut Gianto sebagai pelopor. “Awalnya cuma beliau, lalu datanglah warga lain dari Jawa Tengah yang ikut buka usaha serupa,” jelas Reza.
Reza menegaskan bahwa tidak ada konflik sosial antara warga lokal dan komunitas perantau. “Alhamdulillah, semuanya akur. Banyak warga sini yang kerja di sana. Mereka juga aktif dalam kegiatan sosial,” ujarnya.
Gang Gumelar kini bukan sekadar lorong di tengah pasar. Ia menjadi jalur distribusi rasa, jalan hidup, dan ruang pertemuan dua budaya: Jawa Tengah dan Sunda. Dari satu dandang besar yang mengepul tiap pagi, mengalir rejeki ke banyak meja makan.