Mengurangi Limbah Makanan Melalui Cerita Kuliner di Media Sosial

Mengurangi Limbah Makanan Melalui Cerita Kuliner di Media Sosial

Di era digital saat ini, setiap hidangan di piring makan telah bertransformasi menjadi konten visual yang dirancang untuk menarik perhatian dan mendapatkan banyak interaksi. Namun, di balik pesona tersebut, terdapat realitas yang menyedihkan: banyak makanan yang tidak dihabiskan dan berakhir terbuang. Budaya konten makanan di media sosial yang tidak memperhatikan keberlanjutan, porsi yang tidak realistis, dan kebiasaan makan berlebihan, telah menjadi salah satu penyebab utama krisis limbah makanan global.

Sebuah studi dari Appetite (2022) menunjukkan bahwa paparan rutin terhadap konten ‘mukbang’ dan ‘food porn’ dapat menurunkan kontrol diri, meningkatkan konsumsi impulsif, dan memperbesar peluang pemborosan makanan hingga 38 persen. Data dari FAO (2021) memperkuat fakta ini, di mana setiap tahun dunia membuang 931 juta ton makanan, dengan lebih dari 60% berasal dari rumah tangga. Ini menunjukkan bahwa masalah utamanya bukan terletak pada industri besar, melainkan pada kebiasaan sehari-hari kita di rumah, di dapur, dan di meja makan.

Di Indonesia, data dari Tim Nasional Pengelolaan Sampah Makanan (2023) mencatat bahwa konten digital berperan besar dalam membentuk kebiasaan membeli makanan berlebihan di kalangan rumah tangga muda. Menurut Bappenas (2022), setiap orang Indonesia membuang 115-184 kg sisa makanan tak terpakai per tahun. Jika dijumlahkan secara nasional, totalnya mencapai 48 juta ton makanan terbuang setiap tahunnya, setara dengan Rp551 triliun. Jumlah ini cukup untuk memberi makan jutaan keluarga, memperbaiki sistem pangan nasional, atau membiayai program gizi anak-anak di seluruh pelosok negeri. Ironisnya, di saat yang sama, lebih dari 9 juta anak Indonesia mengalami stunting akibat kekurangan gizi kronis (SSGI, 2024).

Dampak Media Sosial

Peran media sosial sebagai penguat budaya konsumsi yang serba cepat menjadi salah satu penyebab kondisi ini. Dengan 170 juta pengguna media sosial di Indonesia, banyak yang lebih memilih menyaksikan konten makanan yang didominasi oleh video ‘mukbang’—alias makan dalam porsi yang tidak masuk akal—daripada konten edukasi gizi atau resep sehat. Dalam satu video berdurasi sepuluh menit, bisa tersaji 15 porsi ayam geprek, atau “borong semua menu dan coba satu per satu”. Masalahnya bukan sekadar estetika atau hiburan, tetapi apa yang terjadi setelah video berakhir. Apakah makanan itu benar-benar dimakan? Atau berakhir di tempat sampah?

Studi lain dari jurnal Appetite (2022) menunjukkan bahwa paparan konten makan berlebih secara terus-menerus menurunkan kontrol diri, memicu rasa lapar berlebihan, dan meningkatkan konsumsi impulsif. Penelitian dari Journal of Nutrition Education and Behavior (2022) menyatakan bahwa konten makanan ekstrem dapat menurunkan kemampuan seseorang untuk membedakan rasa lapar sejati dan hasrat sesaat. Data dari Institute of Global Food Security (2023) di Inggris menunjukkan bahwa kebiasaan menonton ‘mukbang’ berhubungan langsung dengan peningkatan limbah makanan rumah tangga hingga 38 persen lebih tinggi, karena konsumen meniru porsi, pola beli, dan gaya makan yang mereka lihat.

Kita kini berhadapan dengan generasi yang memesan makanan karena ingin ikut tren, bukan karena lapar. Kelompok usia ini menilai makanan dari tampilannya, bukan dari gizinya. Mereka pun tidak memiliki kedekatan emosional dengan proses pangan, dan lupa bahwa di balik sepiring nasi, ada tangan petani dan cuaca yang tidak selalu bersahabat. Apa yang tampak sekadar konten hiburan ternyata membentuk mentalitas konsumsi yang menjauhkan manusia dari makanan sebagai nilai hidup. Para ahli menyebut ini sebagai “decoupling of food and meaning”, ketika makanan tidak lagi memiliki makna, hanya fungsi visual.

Gastronomi adalah Solusi

Namun, kita tidak kekurangan solusi. Negara ini kaya akan konteks gastronomi warisan budaya yang luar biasa bernilai. Dalam banyak tradisi lokal, menyisakan makanan dianggap tidak sopan. Misalnya, dalam budaya Jawa, terdapat pepatah “ora ilok nyisani”, yang berarti tidak elok menyisakan makanan. Nilai-nilai ini, jika dihidupkan kembali, dapat menjadi pondasi kuat gerakan nasional pengurangan limbah makanan dari rumah tangga. Kita hanya perlu membungkusnya ulang, menyesuaikannya dengan zaman, dan membagikannya melalui media yang kini paling berpengaruh, yaitu narasi digital.

Inilah saatnya kita membangun narasi gastronomi Indonesia sebagai gerakan etika dan keberlanjutan. Bukan dengan ceramah, tetapi dengan cerita reels di Instagram dan TikTok. Mari membanjiri feed TikTok dan Instagram dengan konten #PiringBersihItuKeren atau tagar #ResepLokalAntiBoros, dengan konten kreatif yang mengajarkan keseimbangan dan menghormati proses pangan. Ini dapat memberikan dampak yang luar biasa besar terhadap perubahan perilaku makan anak muda kita. Sudah terbukti secara ilmiah, perang konten di media sosial menjadi strategi jitu pemerintah negara-negara Skandinavia dalam melawan penyebaran hoaks dan berita kesehatan menyesatkan.

Pemerintah dan lembaga masyarakat juga bisa turut memperkuat gerakan ini melalui edukasi, kampanye nasional, dan kolaborasi lintas sektor. Misalnya, dengan membuat label kuliner “Zero Waste Friendly”, memasukkan prinsip gastronomi bijak ke dalam kurikulum pendidikan, atau memberikan insentif bagi konten kreator yang menyebarkan pesan anti limbah makanan. Gastronomi Indonesia memiliki kekuatan untuk menyentuh semua aspek, mulai dari gizi, budaya, lingkungan, hingga ekonomi. Jika dijalankan dengan digitalisasi, nilai-nilai luhur ini bisa menjangkau generasi muda yang selama ini dianggap apatis terhadap isu pangan. Sejujurnya, anak muda adalah aktor paling potensial untuk mengubah budaya makan ke arah yang lebih sadar dan bertanggung jawab.

Budaya Konsumsi yang Bermartabat

Sudah saatnya kita memandang ulang hubungan kita dengan makanan. Momen makan seharusnya menjadi ruang kontemplasi, bukan kompetisi. Bukan soal siapa yang bisa membeli paling banyak atau tampil paling menarik, tetapi siapa yang paling mampu menghargai makanan sebagai berkah dan tanggung jawab. Indonesian Gastronomy Community (IGC) telah memelopori hal ini dengan mendeklarasikan komitmen bersama Badan Pangan Nasional, lewat kampanye yang mengajarkan bahwa makanan bukan hanya untuk perut, tetapi untuk jiwa, untuk komunitas, dan untuk masa depan.

Mari kita hidupkan kembali warisan ini melalui narasi, melalui konten, dan melalui tindakan nyata di rumah masing-masing. Karena perubahan tidak harus dimulai dari parlemen atau panggung besar. Ia bisa dimulai dari piring sendiri dan dari cerita yang kita sebarkan hari ini, di layar yang sama tempat kita biasa melihat makanan dibuang tanpa makna.

Ray Wagiu Basrowi, Pendiri Health Collaborative Center (HCC) dan Sekjen Indonesia Gastronomy Community (IGC)

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *