Perjalanan Nabi Ibrahim AS bersama istrinya, Siti Sarah, mengandung pelajaran mendalam tentang keimanan, keberanian, dan kekuasaan Allah SWT. Cerita ini mengisahkan saat Nabi Ibrahim harus berhadapan dengan raja yang sangat zalim, yang terpikat oleh kecantikan Sarah. Dalam riwayat Abu Hurairah RA, Rasulullah SAW menyebut bahwa Nabi Ibrahim hanya pernah berbohong dalam tiga situasi, dua di antaranya saat berdakwah—mengaku sakit untuk menghindari penyembahan berhala dan menyatakan berhala besar menghancurkan berhala kecil. Ketiga adalah tentang keselamatan Sarah, istrinya tercinta.
Suatu hari, Nabi Ibrahim memasuki wilayah kekuasaan raja yang kejam. Ia khawatir, jika raja tahu bahwa Sarah adalah istrinya, nyawa keduanya akan terancam. Dengan kecerdikan, Ibrahim berpesan kepada Sarah, “Jika ditanya tentang dirimu, katakan bahwa engkau adalah saudara seagama.” Ini bukan kebohongan, melainkan cara cerdas melindungi mereka berdua.
Sesampainya di sana, kecantikan Sarah segera memukau para pengikut raja. Mereka pun memberi tahu Ibrahim, “Jika engkau memasuki wilayah ini, istrimu harus dilepaskan.” Sarah dibawa ke istana, sementara Ibrahim berdiri penuh doa memohon perlindungan dari Allah SWT. Saat raja hendak menyentuh Sarah, tangan sang raja tiba-tiba lumpuh—pertanda kekuasaan Allah yang luar biasa. Ia memohon agar tangan sembuh, dan doa Sarah dikabulkan. Namun, kesombongan raja membuatnya mengulangi niat jahat, dan setiap kali melakukannya, ia mengalami kelumpuhan yang lebih parah, sebagai azab dari Allah.
Akhirnya, raja menyerah dan mengusir Sarah. Dalam buku *Air Mata Para Nabi*, dikisahkan raja bertanya heran, “Apakah perempuan ini tukang sihir?” Sarah menjawab tenang, “Bukan sihir, tapi istri Nabi Ibrahim yang sedang berdoa. Mintalah ampun kepadanya.” Mendengar itu, sang raja ketakutan dan memohon ampun. Allah menyembuhkan dirinya, tetapi kebencian tetap menguasai hati raja. Ia bahkan berniat menyerang Nabi Ibrahim.
Di saat kritis, Malaikat Jibril turun memperingatkan Nabi Ibrahim, “Jangan terlalu mudah memaafkan jika ia tidak melepas seluruh kerajaannya.” Menyadari kekuasaan Allah, raja akhirnya menyerahkan seluruh kekuasaannya dan memberikan seorang budak perempuan bernama Hajar—yang kelak menjadi ibu Nabi Ismail dan bagian dari sejarah besar umat manusia.