Pertarungan Seru: Putusan Pemilu Menanti di MK

Pertarungan Seru: Putusan Pemilu Menanti di MK

Putusan Mahkamah Konstitusi terbaru tentang pemilu terpisah memunculkan perdebatan hangat terkait implikasi keputusan ini, yang dinilai bertentangan dengan norma konstitusi yang ada. Keputusan nomor 135/PUU-XXII/2024 ini tampaknya bertujuan untuk menegakkan konstitusi, namun justru menimbulkan konflik di dalamnya, sehingga merusak legitimasi putusan pengadilan dan menabrak validitas norma konstitusi itu sendiri.

Terdapat dua hal yang menjadi penyebabnya. Pertama, Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa Pasal 167 ayat (3) Undang-Undang Pemilu bertentangan dengan Pasal 22E ayat (2) tentang pemilihan umum. Akibatnya, pemilu presiden, DPD, dan DPR akan diselenggarakan terpisah dari pemilu DPRD daerah. Langkah ini diambil dengan asumsi bahwa pemisahan ini akan meningkatkan efektivitas pemerintahan, di tengah rasa jenuh pemilih yang telah ada dan kurangnya representasi kedaulatan rakyat yang nyata.

Kedua, Mahkamah Konstitusi berargumen bahwa pemisahan pemilu nasional dan lokal bertujuan untuk mengarahkan perhatian pemilih. Dalam pemilu serentak 2019 dan 2024, fokus pemilih teralihkan hanya pada pemilu presiden dan DPR, sehingga pemilu DPRD kurang mendapatkan perhatian. Namun, masalah permohonan Perludem yang diajukan ke Mahkamah Konstitusi sebenarnya lebih pada implementasi norma yang ada, sebagaimana diatur dalam UUD 1945 yang menyatakan bahwa pemilu dilaksanakan untuk memilih Presiden, DPR, DPD, dan DPRD setiap lima tahun sekali.

Dengan kata lain, norma ini tidak dapat ditafsirkan lain. Dalam hal ini, Mahkamah Konstitusi malah menyalahi putusan sebelumnya yang menyatakan bahwa pemilihan umum harus dilakukan secara serentak (Putusan Nomor 14/PUU-XI/2013). Pemisahan pemilu yang diambil saat ini menunjukkan ketidakkonsistenan dengan keputusan yang sudah diambil, yang seharusnya mendukung efisiensi dan memperkuat akuntabilitas politik. Tindakan ini seolah-olah mencoba menyesuaikan dengan situasi politik, yang bukan merupakan wewenang Mahkamah Konstitusi.

Yang menjadi perhatian selanjutnya adalah pernyataan tentang perpanjangan masa jabatan anggota DPRD menjadi tujuh tahun, yang menciptakan legitimasi kekuasaan baru yang tidak sesuai dengan prinsip kedaulatan rakyat. Anggota DPRD dipilih langsung oleh masyarakat selama lima tahun, berdasarkan sumpah jabatan yang menyebutkan bahwa tugas mereka harus sesuai dengan konstitusi. Keputusan ini seolah membatalkan kedaulatan rakyat, sumpah jabatan, dan konstitusi secara bersamaan.

Kini, tantangan besar dihadapi mengenai kebijakan ketatanegaraan yang diperlukan untuk mencari solusi terbaik terkait masalah konstitusi—apakah melaksanakan putusan Mahkamah Konstitusi atau tetap berpegang pada konstitusi yang ada? Meskipun putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final dan mengikat, substansi keputusan yang bertentangan dengan konstitusi sebaiknya tidak dilaksanakan. Pertama, hal ini berhubungan dengan legalitas formal konstitusi dan kedudukan putusan Mahkamah Konstitusi yang berada di bawah kedaulatan rakyat. Hierarki norma dalam sistem hukum menunjukkan bahwa urutan ini sangat penting. Kedua, melaksanakan keputusan Mahkamah Konstitusi dengan merevisi ulang undang-undang pemilu dengan cara yang sesuai dengan konstitusi bisa menjadi jalan tengah yang baik.

Disampaikan oleh Hartawan Mandala Putra, Advokat dan Mahasiswa Magister Hukum Kenegaraan UI.

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *