Wave of Protests Against Dedi Mulyadi’s Study Tour Ban Policy

Wave of Protests Against Dedi Mulyadi’s Study Tour Ban Policy

Kebijakan Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, yang melarang kegiatan study tour melalui Surat Edaran Nomor 45/PK.03.03/KESRA, telah memicu protes yang meluas dari pelaku usaha pariwisata. Pada Senin (21/7/2025), demonstrasi berkumpul di Gedung Sate dan kemudian menyebar hingga ke Flyover Pasupati, menyebabkan kemacetan yang panjang. Para pelaku wisata beranggapan bahwa kebijakan ini tidak hanya mengurangi pendapatan mereka, tetapi juga merusak ekosistem ekonomi yang selama ini bergantung pada mobilitas wisata pelajar.

Ketua DPD Asosiasi Travel Agent Indonesia (ATSINDO) Jabar, Joseph Sugeng Irianto, mengekspresikan kekecewaannya terhadap Gubernur yang dinilai mengabaikan dampak nyata kebijakan ini terhadap ribuan pekerja di sektor pariwisata. Ia menyentuh citra Dedi Mulyadi sebagai “Bapak Aing,” yang seharusnya berperan adil bagi semua “anaknya” di Jawa Barat.

“Kang Dedi sepertinya lupa bahwa ada banyak ‘anak’ dengan berbagai karakter di Jawa Barat. Namun, ia terlihat hanya memperhatikan satu atau dua ‘anak’ dan mengabaikan yang lain,” ujarnya pada Selasa (22/7/2025). Joseph menambahkan bahwa larangan study tour berdampak signifikan pada pendapatan sopir, kenek, hingga pengusaha travel kecil. Ia merasa bahwa Gubernur lebih fokus pada beban orang tua daripada nasib para pelaku wisata.

“Apalagi mereka yang di garis depan. Dengan terbatasnya perjalanan, pendapatan mereka menurun. Namun, kebutuhan sehari-hari tetap ada. Lalu Kang Dedi justru tidak mempertimbangkan aspek pariwisata dan lebih mengedepankan keluhan orang tua,” ungkapnya.

Lebih lanjut, Joseph berharap bahwa solusi harus dicari secara bersama, tanpa ada upaya untuk merusak reputasi pihak-pihak tertentu. Kritik juga datang dari kalangan akademisi. Kristian Widya Wicaksono, pakar kebijakan publik dari Universitas Katolik Parahyangan (Unpar), menyatakan bahwa larangan study tour seharusnya tidak hanya dilihat dari sudut pandang pendidikan karena dampaknya jelas menyentuh aspek ekonomi warga.

“Demonstrasi yang dilakukan para pekerja pariwisata adalah akumulasi kekecewaan mereka terhadap kebijakan ini, yang berhubungan langsung dengan mata pencaharian yang memengaruhi kesejahteraan masyarakat,” jelas Kristian. Ia menekankan bahwa setiap kebijakan harus didasarkan pada penelitian yang mendalam dan pertimbangan yang matang untuk semua dampaknya.

“Sikap Gubernur yang terus bersikukuh tidak mau mencabut surat edaran pelarangan study tour seharusnya didasari oleh alasan yang bisa diterima publik, terutama oleh pihak yang terdampak,” tambahnya. Jika keputusan diambil tanpa data yang jelas, hal ini hanya akan memicu reaksi negatif di kalangan pekerja pariwisata.

Menanggapi berbagai kritik tersebut, Sekretaris Daerah Herman Suryatman menegaskan bahwa kebijakan ini dirancang untuk melindungi ekonomi keluarga, bukan untuk menjauhkan pelaku wisata. Ia mencatat bahwa seringkali orang tua terjebak dalam utang saat berusaha membiayai study tour yang mahal.

“Larangan ini ditujukan pada study tour yang berbiaya tinggi dan tidak proporsional. Kami mendorong sekolah-sekolah untuk memanfaatkan destinasi edukasi lokal yang terjangkau namun tetap memberikan nilai,” jelasnya. Herman menegaskan bahwa meskipun tidak semua kebijakan bisa memuaskan semua pihak, Pemprov berkomitmen mencari solusi jangka panjang yang seimbang antara pendidikan dan keberlanjutan ekonomi. “Di Jawa Barat ada lebih dari 50 juta penduduk, jadi wajar jika ada pro dan kontra. Yang kita butuhkan adalah mencari solusi,” pungkasnya.

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *