Johan Cruyff pernah berkata, “Bermain sepakbola itu sangat sederhana, tapi sederhana itu hal tersulit.” Kata-kata ini sangat dirasakan oleh Jordi Cruyff, putra Johan yang kini menjadi penasihat teknik timnas Indonesia.
Menurut Jordi, masalah utama sepakbola Indonesia adalah kesederhanaan itu sendiri. Sepakbola Indonesia terasa begitu kompleks karena melibatkan langsung 280 juta penduduk. Jika ada yang bertanya mengapa dari 280 juta orang tidak ada 11 pemain yang bisa bersinar di level dunia, maka pertanyaan serupa juga berlaku pada negara dengan populasi raksasa seperti China dan India yang belum mampu membawa negaranya melaju jauh di kualifikasi Piala Dunia 2026 zona Asia.
Menyederhanakan sepakbola Indonesia bukan perkara gampang. Kesederhanaan sering lahir dari proses yang rumit, sementara kerumitan juga bisa muncul dari hal yang sederhana. Teknologi seperti artificial intelligence (AI) adalah contoh sempurna: mampu menyederhanakan urusan manusia, namun di baliknya tersimpan data dan algoritma yang kompleks.
Intinya, setiap masalah bisa disederhanakan, tapi proses menyederhanakannya tidak selalu mudah. Justru menyederhanakan dengan terlalu simpel kerap menjerumuskan pada jump to conclusion atau kesimpulan terburu-buru. Dalam bukunya The Conclusion Trap (2020), Daniel Markovitz menjelaskan banyak organisasi dan individu yang berbuat demikian, mengambil kesimpulan sebelum memahami persoalan secara penuh.
Fenomena jump to conclusion ini sangat kentara dalam konteks sepakbola Indonesia, yang kerap dipengaruhi oleh sentimen, emosi, dan fanatisme buta. Contohnya, ketika staf pelatih timnas menerima serangan personal usai kekalahan telak 0-6 dari Jepang.
Kritik yang beralasan atas taktik pelatih Patrick Kluivert, terutama soal koordinasi pertahanan yang membuat pemain Jepang begitu leluasa, bisa diterima secara rasional. Namun, ketika serangan diwarnai sentimen pribadi dan perbandingan tidak logis, seperti membandingkan kekalahan 0-4 di GBK dengan 0-6 di Osaka, bias jump to conclusion makin jelas.
Perbandingan itu sering bermuara pada klaim bahwa pelatih sebelumnya, Shin Tae Yong, lebih baik daripada Kluivert, berdasarkan skor akhir dan statistik tembakan lawan. Padahal, membandingkan dua kekalahan telak bukanlah cara yang tepat. Sebenarnya, kedua era menunjukkan fakta yang sama: kelas sepakbola Indonesia masih jauh di bawah Jepang.
Kalau ingin melihat perbedaan, bandingkan hasil laga kandang dan tandang melawan Australia, Cina, dan Bahrain di era kedua pelatih. Itu adalah perbandingan yang lebih adil dan bernilai, meski tetap perlu mempertimbangkan banyak variabel lain.
Mengkritik dan membandingkan pelatih adalah hal wajar dalam sepakbola. Namun, apabila didasari oleh emosi dan sentimen semata, hal itu justru akan merugikan timnas, menimbulkan tekanan berlebihan, dan menciptakan suasana yang destruktif menjelang pertandingan krusial di putaran keempat kualifikasi Piala Dunia.
Sentimen dan emosi ini dapat memecah belah dukungan menjadi pro dan kontra terhadap pelatih saat ini. Keadaan yang sudah biasa dimanfaatkan oleh akun-akun pesaing negara, tapi sangat disayangkan jika justru dimanfaatkan oleh pihak-pihak di dalam negeri sendiri. Pertanyaan pun muncul: apakah motif mereka benar-benar demi sepakbola atau ada kepentingan lain?
Mimpi kita semua sederhana: menang dan lolos ke Piala Dunia. Tidak peduli siapa pelatihnya. Seperti yang pernah dikatakan pemimpin Cina Deng Xiaoping, “Tidak peduli kucing itu hitam atau putih, asalkan bisa menangkap tikus!”
Abdullah Sammy, CEO Rikreatif, peneliti sejarah dan strategi manajemen, Universitas Indonesia.